Sugeng Rawuh

Welcome to My Blog... :)
Hope can give u more knowledge, hope u can enjoy it... :)

Thanks for your visit..

gracias...

Minggu, 25 Desember 2011

Farmakologi


TUGAS TERSTRUKTUR
FARMAKOLOGI

INTERAKSI OBAT-OBAT
 







DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2 A
RAHMINAWATI RITONGA (G1F010005)
RAKHMAWATI HANIFAH (G1F010006)
WINANTI HANDAYANI (G1F010007)
YESSY KHOIRIYANI (G1F010008)
SANI ZAKKIA ALAWIYAH (G1F010009)
JANESCA KRISTIANTO GINTING (G1F010010)



KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN FARMASI
PURWOKERTO
2011




BAB I
PENDAHULUAN
Pada penulisan resep sering beberapa obat diberikan secara bersamaan, maka mungkin terdapat obat yang kerjanya berlawanan. Dalam hal ini obat pertama dapat memperkuat atau memperlemah, memperpanjang atau memperpendek kerja obat kedua.
Interaksi obat dapat bersifat farmakodinamik atau farmakokinetik. Interaksi farmakodinamik yaitu interaksi antara obat-obat yang mempunyai khasiat atau efek samping yang serupa atau berlawanan. Interaksi farmakokinetik yaitu interaksi yang terjadi apabila suatu obat mengubah absorpsi, distribusi, metabolisme, atau ekskresi obat lain. Dengan demikian interaksi ini meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menimbulkan efek farmakologiknya.
Karena interaksi obat pada terapi obat dapat menyebabkan kasus yang parah dan krusakan-kerusakan pada pasien, maka interaksi obat harus lebih diperhatikan daripada sekarang dan dengan demikian dapat dikurangi jumlah dan keparahannya. Berikut ini dikemukakan mekanisme interaksi obat yang sangat penting.












BAB II
ISI
Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu bersamaan dapat memberikan efeknya tanpa saling mempengaruhi, atau bisa jadi saling berinteraksi. Interaksi tersebut dapat berupa potensiasi atau antagonisme satu obat oleh obat lainnya, atau kadang efek yang lain. Pemakaian beberapa obat secara bersamaan adalah sama tuanya dengan terapi obat sendiri. Masalah interaksi baru menjadi akut sejak baru-baru ini, karena disatu pihak selalu tersedia obat-obat yang lebih berkhasiat yang dapat menimbulkan efek-efek yang tak diinginkan apabila obat-obat ini mempunyai pengaruh yang berlawanan dan dipihak lain baru beberapa tahun yang lalu dikembangkan cara membuktikan interaksi demikian dan juga ditemukan mekanisme-mekanisme yang menyebabkannya. Walaupun demikian, dibuktikan bahwa istilah interaksi mula-mula tidak menyatakan apakah berarti negatif atau positif. pada pembahasan tentang interaksi mudah dilupakan bahwa inipun bekerja juga sangat positif, yang dapat merupakan persyaratan untuk terapi yang bermanfaat. Dalam pemakaian sekarang interaksi diartikan hanya interaksi yang tak diinginkan saja.
A.            Interaksi Farmakodinamika
Interaksi farmakodinamika hanya diharapkan jika zat berkhasiat yang saling mempegaruhi bekerja sinergis atau antagonis pada suatu reseptor, pada suatu organ sasaran atau pada suatu rangkaian pengaturan. Jika sifat-sifat farmakodinamika, yang kebanyakan dikenal baik, dari obat-obat yang diberikan secara bersamaan diperhatikan, interaksi demikian dapat berupa secara teraupetik apabila menguntungkan atau dapat dicegah apabila tidak diinginkan. Karena itu berikut ini hanya dikemukakan beberapa contoh yang kurang dikenal  atau contoh yang secara teori terkenal tetapi secara praktek kadang-kadang disebabkan oleh keteledoran.
1.      Pengaruh berlawanan terhadap kadar gula darah
 Dalam beberapa hal telah dikemukakan  suatu penurunan kebutuhan insulin setelah pemberian oksitetrasiklin dan guanetidin. Karena itu pemberian obat-obat ini pada penderita kencing manis harus diikuti dengan perhatian khusus. Pemblok-β yang tidak kardioselektif, misalnya propranolol,  memperlambat kenaikan kadar gula darah kembali setelah pemberian insulin dan karena itu dapat menimbulkan reaksi hipoglikemi yang berkepanjangan.
2.      Pengaruh berlawanan terhadap tekanan darah
Penderita tekanan darah tinggi umumnya memperoleh obat antihipertensi selama bertahun-tahun atau berpuluh tahun. Sehubungan dengan itu kemungkinan interaksi besar. Karena itu pada tiap pemberian obat untuk mengatur sirkulasi dan obat jantung disamping pemberian obat ngkatan antihipertensi, harus diperhatikan apakah karena pemberian itu tekanan darah berubah secara tak diinginkan, khususnya apakah tekanan darah turun di bawah angka yang diinginkan dan karena itu kadang-kadang terjadi keadaan hipotonik. Hal ini dapat berbahaya misalnya dam lalu lintas. Disini yang khusus harus diperhatikan adalah  antiaritmika dan obat-obat terapeutika koronar. Selanjutnya kepada pasien dengan tekanan darah tinggi harus dijelaskan bahwa alkohol tidak hanya memperburuk penyakit tekanan darah melainkan dalam beberapa hal juga menyebabkan penurunan tekanan darah yang tidak dapat dikontrol. Demikian juga banyak psikofarmaka mempengaruhi tekanan darah. Antidepresiva terisiklik mengantagonis kerja menurunkan tekanan darah guanetidin, α metildopa, reserpin dan klonidin. Selanjutnya kerja hipotensif guanetidin diperlemah oleh amfetamin dan efedrin. Pemberian inhibitor monoaminoksidase dan simpatomimetika tak langsung secara bersamaan dapat menyebabkan perubahan tekanan darah yang parah (kenaikan tekanan darah atau penurunan takanan darah).
3.       Peningkatan nefrotoksisitas dan ototoksisitas
Antibiotika aminoglikosida, misalnya gentamisin dan streptomisin, yang diberikan bersama diuretika jerat Henle, misalnya furosemida atau asam etakrinat, menaikkan nefrotoksisitas sefalotin, selain itu menaikkan ototoksisitas antibiotika aminoglikosida kenaikan ototoksisitas terjadi karena diuretika jerat henle mengubah komposisi elektrolit endolimfe dalam telinga bagian dalam.
4.       Peningkatan relaksasi otot
Bagi ahli anestesi, interaksi obat relaksan otot yang menstabilkan dengan antibiotika, yang tersedia karena kerja jenis kurare (misalnya antibiotika aminoglikosida) mempunyai arti, karena harus memperhitungkan peningkatan kerja merelaksasi otot.
5.      Peningkatan toksisitas glikosida jantung
Hiperkalsemia dan hipokalemia meningkatkan kerja glikosida jantung. Ini berarti, bahwa pasien dengan terapi glikosida jantung tak boleh disuntik dengan larutan yang mengandung kalsium, dan selain itu pada pemberian glikosida jantung secara bersamaan dengan senyawa-senyawa, yang dapat menyebabkan kehilangan kalium, terapi glikosida jantung harus diawasi dengan sangat ketat. Ini berlaku, misalnya untuk laksansia dan saluretika, yang sering diberikan bersama dengan glikosida jantung. Demikian juga berlaku untuk glukokortikoid. Amfoterisin B juga mempertinggi toksisitas glikosida jantung karena mekanisme mengurangi kalium.
6.      Peningkatan kecenderungan perdarahan
Pada terapi dengan obat antikoagulan jenis dikumarol, berdasarkan interaksi  farmakodinamika, kecenderungan perdarahan meningkat jika diberikan bersamaan obat berikut: dengan asam asetilsalisilat akibat penghambatan agregasi trombosit dan pada dosis lebih dari 1,5 gram akibat menurunnya sintesis protombin ; dengan kuinidin karena menurunnya sintesis faktor-faktor  pembekuan yang bergantung pada vitamin K dengan sefalosporin yang berstruktur N-alkil-tetrazol, misalnya Lamoxactam atau Cefamandol, karena sintesis protombin dan fungsi trombosit dikurangi dengan asam valproinat karena penghambatan agregasi trombosit dan pengurangan jumlah lempeng darah.
B.            Interaksi Farmakokinetika
Interaksi farmakokinetika dapat terjadi selama fase farmakokinetika obat secara menyeluruh, juga pada absorpsi, distribusi, biotransformasi dan eliminasi. Berbeda dengan interaksi farmakodinamika, peramalan interferensi farmakokinetika lebih sulit karena proses-proses farmakokinetika hanya spesifik terhadap obat dalam hal-hal kekecualian. Karena itu harus selalu diperhitungkan interferensi demikian.
1.      Interaksi pada proses absorpsi
Interaksi pada proses absorpsi dalam saluran cerna dapat disebabkan karena:
·         Interaksi langsung yaitu terjadi reaksi/pembentukan senyawa kompleks antar senyawa obat yang mengakibatkan salah satu atau semuanya dari macam obat mengalami penurunan kecepatan absorpsi.
Contoh: interaksi tetrasiklin dengan ion Ca2+, Mg2+, Al3+ dalam antasida yang menyebabkan jumlah absorpsi keduanya turun.
·         Perubahan pH
Interaksi dapat terjadi akibat perubahan harga pH oleh obat pertama, sehingga menaikkan atau menurukan absorpsi obat kedua.
Contoh: pemberian antasid bersama penisilin G dapat meningkatkan jumlah absorpsi penisilin G
·         Motilitas saluran cerna
Pemberian obat-obat yang dapat mempengaruhi motilitas saluan cerna dapat mempegaruhi absorpsi obat lain yang diminum bersamaan.
Contoh: antikolinergik yang diberikan bersamaan dengan parasetamol dapat memperlambat parasetamol.
2.      Interaksi dalam proses distribusi
Jika dalam darah pada saat yang sama terdapat beberapa obat, terdapat kemungkinan persaingan tehadap tempat ikatan pada protein plasma. Persaingan terhadap ikatan protein merupakan proses yang sering yang sesungguhnya hanya baru relevan jika obat mempunyai ikatan protein yang tinggi, lebar terapi rendah dan volume distribusi relatif kecil.
Dalam tabel berikut dicantumkan bebrapa interaksi karena pengusiran dari ikatan protein.
Senyawa yang mengusir
Senyawa yang diusir
Kerja
Fenilbutazon
Klofibrat
Fenprokoumon
Pendarahan
Fenilbutazon
Salisilat
Tolbutamid
Hipoglikemia
Salisilat
Sulfonamida
Bilirubin
Kernikterus pada bayi baru lahir
Antireumatika deret fenilbutazon, misalnya fenilbutazon atau oksifenbutazon, dapat mengusir antikoagulan dari ikatan protein, karena itu untuk sementara sampai pengaturan steady-state yang baru konsentrasi antikoagulan bebas meningkat. Kemudian kenaikan konsentrasi bebas ini pada waktu yang sama menyebabkan kenaikan eliminasi dan akibat penghambatan sistesis protrmbin, kecenderungan perdarahan meningkat. Efek yang sama telah dikemukakan juga untuk klofibrat. Bahaya hipoglikemia setelahpemberian antidiabetika oral turunan sulfonamida, misalnya tolbutamida, naik apabila saat yang sama diberikan asam asetilsalisilat atau fenilbutazon. Hal yang analog ialah pengusiran bilirubin dari ikatan albumin oleh salisilat dan sulfonamida dengan bahaya yang disebut kernikterus pada bayi yang baru lahir.
3.      Interaksi pada proses metabolisme
Banyak obat dimetabolisme di hati. Induksi sitem enzim mikrosom hati oleh suatu obat dapat meningkatkan laju metabolisme obat lain, sehingga kadar plasma obat lain tersebut menurun dan efeknya menurun. Penghentian obat penginduksi menyebabkan kadar obat yang dipengaruhi meningkat dan toksisitas dapat terjadi. Golongan barbiturat, griseofulvin, sebagian besar antiepilepsi, dan rifampisin merupakan penginduksi enzim yang paling penting pada manusia. Obat-obat yang dipengaruhinya termasuk warfarin dan kontrasepsi oral. Sebaliknya, apabila suatu obat menghambat metabolisme obat lain, maka kadar plasma obat lain tersebut meningkat, dan menimbulkan peningkatan efek dengan resiko terjadinya toksisitas. Beberapa obat mempotensiasi warfarin dan fenitoin melalui mekanisme ini.
4.      Interaksi pada proses ekskresi
Obat dieliminasi melalui ginjal, baik secara filtrasi glomerulus maupun secara sekresi aktif di tubulus ginjal. Kompetisi terjadi antara obat-obat yang menggunakan mekanisme transport aktif yang sama di tubulus proksimal. Contohnya probenesid yang menghambat ekskresi banyak obat, termasuk golongan penisilin, beberapa sefalosporin, indometasin, dan dapson. Dengan mekanisme yang sama, asetosal dapat meningkatkan toksisitas metotreksat.




BAB III
KESIMPULAN
·           Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu bersamaan dapat memberikan efeknya tanpa saling mempengaruhi, atau bisa jadi saling berinteraksi. Dalam hal ini obat pertama dapat memperkuat atau memperlemah, memperpanjang atau memperpendek kerja obat kedua
·           Menurut jenis mekanisme kerja dibedakan:
a.         Interaksi Farmakodinamik
b.         Interaksi Farmakokinetik
·           Interaksi farmakodinamik yaitu interaksi antara obat-obat yang mempunyai khasiat atau efek samping yang serupa atau berlawanan
·           Interaksi farmakokinetik meliputi interaksi pada proses absorpsi, interaksi pada proses distribusi, interaksi pada proses metabolisme, interaksi pada proses ekskresi.





DAFTAR PUSTAKA
Katzung, B.G.,2002, Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta.
Mutschler, E., 1986, Dinamika Obat, Penerbit ITB Bandung, Bandung.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000, Sagung Seto, Jakarta.
Sulistia, dkk., 2007, Famakologi dan Terapi, UI Press, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar